Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terus memantau industri gula yang dianggap semakin oligopolistik akibat kebijakan impor yang memperkuat dominasi pelaku usaha besar. KPPU mengusulkan kebijakan untuk mendorong persaingan yang lebih sehat agar harga gula dapat lebih kompetitif dan adil bagi konsumen. Ketua KPPU, M. Fanshurullah Asa, menyatakan bahwa industri gula adalah salah satu sektor yang selalu dipantau secara konsisten oleh KPPU.
“Kami telah melakukan berbagai kajian dan memberikan saran serta pertimbangan kepada Presiden dan Menteri terkait untuk memperbaiki industri gula. Bahkan penegakan hukum juga telah dilakukan terhadap berbagai masalah seperti proses lelang gula ilegal, distribusi gula, dan jasa survei gula impor,” ujar Fanshurullah dalam keterangan tertulis, Senin (4/11/2024).
Sebagai informasi, KPPU telah dua kali memberikan saran dan pertimbangan terkait industri gula kepada Pemerintah. Pada Januari 2004, KPPU menyoroti mekanisme penunjukan importir yang berpotensi menciptakan hambatan pasar dan kartel. Pada September 2010, KPPU menyarankan Presiden RI untuk menyempurnakan kebijakan tata niaga gula dengan menetapkan harga secara rigid di setiap level distribusi, termasuk Harga Eceran Tertinggi (HET) di tingkat konsumen.
Fanshurullah juga mendorong Pemerintah untuk merumuskan road map industri gula nasional yang dapat menghasilkan harga yang kompetitif dan meninjau kembali kebijakan dana talangan, agar harga gula petani selalu di atas harga dasar gula. KPPU telah menangani beberapa kasus di industri gula, termasuk kasus No. 4/KPPU-L/2005 yang melibatkan persekongkolan tender lelang gula ilegal.
KPPU berhasil membuktikan adanya persaingan semu dalam lelang tersebut dan ketiga terlapor membayarkan denda pada tahun 2008. Ada juga kasus No. 8/KPPU-I/2005 tentang dugaan pelanggaran dalam penyediaan jasa survei gula impor oleh PT. Sucofindo dan PT. Surveyor Indonesia. Selain itu, terdapat kasus No. 5/KPPU-L/2006 terkait dugaan pelanggaran dalam distribusi gula pasir oleh PT Perkebunan Nusantara XI (PTPN XI) dan 11 peserta lelang gula.
Fanshurullah menilai bahwa penetapan Harga Acuan Penjualan pada industri ini tidak efisien, terutama karena mengacu pada pabrik yang belum produktif atau menggunakan mesin tua, sehingga membuat harga gula domestik lebih tinggi dibandingkan negara lain. Ketidakefisienan ini memaksa Indonesia untuk tetap melakukan impor gula guna memenuhi kebutuhan nasional.
Dengan kebutuhan gula tahunan sebesar 2,93 juta ton dan produksi nasional hanya mencapai 2,38 juta ton, masih dibutuhkan impor sebesar 708 ribu ton per tahun. Pangsa pasar produsen gula konsumsi dikuasai secara berurutan oleh PT Sinergi Gula Nusantara (PT SGN), Sugar Group, dan Gunung Madu. Dalam kondisi ini, kebijakan Pemerintah harus mampu membatasi potensi penyalahgunaan kekuatan oligopoli pelaku usaha di industri tersebut.